Selasa, 20 Agustus 2019

REVIEW BUKU ANAK SEMUA BANGSA "Pramoedya Ananta Toer"

Oleh: Sitta Ramona Identitas buku
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit    : Hasta Mitra
ISBN          : 979-8659-13-9

Bismillahirrahmanirrahim.


     Han, memang bukan sesuatu yang baru, Jalan setapak setiap orang dalam mencari tempat di tengah-tengah dunia dan masyarakat nya, untuk menjadi diri sendiri.Melelahkan dan membosankan untuk diikuti. Lebih membosankan adalah mengamati yang tidak membutuhkan sesuatu jalan, menjangkarkan akar tunggang pada bumi dan tumbuh jadi pohon.

     Kalimat ini merupakan prolog dari novel "Anak Semua Bangsa", novel kedua dari tetralogi Bumi Manusia. Tetralogi ini sendiri sudah diterbitkan lebih dari 10 bahasa di dunia, hal yang wajar mengingat bahwa buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang kaya dengan nilai sejarah, sastra dan semangat pembaruan, sudah menjadi salah satu buku yang dipelajari oleh orang-orang terpelajar dari berbagai negara.
     Prolog tersebut mencerminkan apa yang ingin diceritakan oleh pengarang dalam novel "Anak Semua Bangsa" ini. Yaitu tentang perjalanan seorang anak manusia yang kelelahan mencari tempat di masyarakat nya sendiri, dan di dunia, untuk menjadi diri sendiri dan juga untuk memberi arti, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga memberi arti bagi dunia. Tetapi di sisi lain juga ada orang-orang yang tidak perlu bersusah payah mencari jalan, karena dapat menghujamkan akarnya ke muka bumi dengan mudah dan menumbuhkan pohon kekuasaan nya, hanya dengan warna kulitnya.
     Pada awal novel ini diceritakan kelanjutan dari kehidupan Minke, dimana masa mudanya berakhir direnggut dengan paksa. Istrinya, Annelies Mellema tidak diakui secara hukum Belanda sebagai istrinya, dan dikirim jauh ke Belanda. Bagi Annelies, kehidupannya hanyalah Mama, Minke dan perusahaan nya, dia tidak mengenal kehidupan lain, dan ketika mereka dipisahkan jauh darinya, maka dia pun kehilangan perhatian dan minat terhadap kehidupan, karena Annelies tidak memiliki karakter yang kuat. Annelies akhirnya jatuh sakit dan meninggal di sebuah dusun di Huizen, Belanda, dan satu-satunya orang yang dikenal dan menemaninya hanyalah  Robert Jan Dapperste alias Panji Darman, teman suaminya, Minke, sedangkan Minke dan mamanya tidak diizinkan untuk ikut serta ke Belanda.
     Sedangkan Minke memiliki karakter yang kuat, meskipun dia sedih karna kehilangan Annelies, dia tidak hancur. Dia melanjutkan hidupnya dan memperhatikan apa yang terjadi di dunia, dia memperhatikan bagaimana Jepang yang awalnya miskin dan dilecehkan dunia berubah menjadi kuat dan diakui setara dengan Eropa, bagaimana para pekerja di Filiphina memberontak terhadap penjajah, bagaimana pribumi Hindia diperlakukan dengan sangat tidak adil dan pemberontakan mereka selama lebih dari 300 tahun, bagaimana Angkatan Muda Tiongkok berjuang untuk memberontak dari Angkatan Tua untuk memajukan negeri Cina yang sangat dipandang hina oleh dunia, Minke yakin, jika Jepang sekarang bisa bangkit, maka suatu saat Cina juga akan bangkit.
     Hampir setengah abad berlalu sejak novel ini ditulis, dan hari ini, terbukti, Cina menjadi negara yang besar kekuasaannya dan diakui juga ditakuti oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
     Novel ini juga mengajarkan kita bahwa meskipun benar kita terpelajar, ingatlah, banyak orang lain yang tidak terpelajar, dan kau, tugasmu yang mengaku terpelajar untuk membuat mereka menjadi terpelajar, kau harus, harus, harus bicara pada mereka dengan bahasa yang mampu mereka pahami.
     Jangan palingkan mukamu dari masyarakat ini, karena sepandai-pandainya seorang ahli, juga akan ikut jadi bodoh jika berada dalam kekuasaan yang bodoh.
QUOTE OF THE DAY : "sepandai-pandainya seorang ahli, juga akan ikut jadi bodoh jika berada dalam kekuasaan yang bodoh"
-Sitta Ramona-

Load disqus comments

0 komentar